Beranda TANGERANG HUB Imbas Kebijakan Pusat, Bupati Zaki Buka-bukaan Soal Dampak ke Daerah

Imbas Kebijakan Pusat, Bupati Zaki Buka-bukaan Soal Dampak ke Daerah

0
BERBAGI
HUMAS FOR TANGERANG EKSPRES. SAMBUTAN: Bupati Tangerang A Zaki Iskandar (berdiri) memaparkan gambaran besar perizinan di Kabupaten Tangerang saat membuka FGD OSS-RBA di Hotel Atria, Kecamatan Kelapa Dua, Senin (4/7).

KABUPATEN TANGERANG, TANGERANG EKSPRES.CO.ID — Bupati Tangerang A Zaki Iskandar berani buka-bukaan dampak dan imbas dari kebijakan pemerintah pusat yang dinilai kurang matang terhadap daerah. Hal ini ia sampaikan saat sambutan membuka Forum Grup Diskusi (FGD) yang membahas persyaratan dasar berusaha pada pelaksanaan perizinan dengan Sistem Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA). Diskusi ini mengangkat tema tantangan dan peluang yang digelar Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Tangerang.

Forum ini dihadiri perwakilan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).

Zaki memaparkan, pemerintah daerah didera setumpuk konsekuensinya akan kebijakan pemerintah pusat yang dinilai belum matang dipikirkan. Ia mencontohkan dalam program lahan sawah pribumi yang ada di Kecamatan Sepatan dan Pakuhaji.

“Mungkin itu peta (tata ruang wilayah -red) yang dipakai (program sawah -red), awal tahun 2000 apa mungkin tahun 90-an, kali, sekarang udah 2022. Kami lagi yang harus menerima konsekuensinya. Bayangkan, ga ada yang mau, apalagi sekarang ribut-ribut pangan, krisis pangan dan lain sebagainya, sama kita juga tidak ada yang mau. Tetapi inilah wilayah kondisi Tangerang, mungkin sama dengan wilayah Bodetabek yang lainnya, yang menerima dampak dari seluruh kebijakan dan aturan pemerintah pusat,” jelasnya saat sambutan, Senin 4 Juli 2022.

Zaki meneruskan, awal pembangunan Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang dinilai kurang memperhatikan dampak perkembangan bisnis akan aktivitas penerbangan. Sehingga, kata dia, lahan yang tersedia alih fungsi menjadi pembangunan properti dan pergudangan untuk mendukung ekonomi bandara.

“Emang kita mau ada Bandara Soekarno-Hatta, engga, pemerintah pusat yang buat, kita dukung. Setalah ada bandara apa dipikirkan kebutuhan mengenai gudang dan pendukung ekonomi, bisnis dan usaha daripada Bandara Soekarno-Hatta, engga juga, pemerintah pusat, kita dukung. Akhirnya terjadilah proses pengembangan pergudangan di Kota dan Kabupaten Tangerang, mohon maaf sebetulnya semerawut. Engga dipikirkan 20 tahun, 50 tahun yang akan datang akan seperti apa, sekaranglah imbasnya pemerintah daerah yang harus terima sekarang ini,” paparnya.

Lanjut Zaki, saat Kabupaten Tangerang ditunjuk menjadi daerah perumahan dan permukiman untuk mendukung industri dengan program perumahan nasional (perumnasnya) pemerintah daerah mendukung penuh. Lalu, dampak akan pertumbuhan kota satelit namun pemerintah daerah tetap mendukung penuh kebijakan pusat.

“Engga ada masalah, kita dukung semuanya. Begitu juga dengan pertumbuhan kota satelit, oke (dukung -red). Ini kan gula untuk para semut, akhirnya berdatanganlah masyarakat ke Kabupaten Tangerang,” jelasnya.

Menurut Zaki, perkembangan kota satelit membuat Kabupaten Tangerang menjadi daerah urban namun ketersediaan lahan kurang terbatas. Hal ini membuat pemerintah daerah memutar otak untuk memanfaatkan lahan yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Mulai dari ruang terbuka hijau, persawahan, pergudangan, perindustrian hingga permukiman.

“Sekarang kami lagi harus berfikir satu hektar lahan produktifnya harus kita buat apa. Sawah kah, kalau sawah berapa yang kerja, berapa produktivitasnya beras satu tahun. Kalau kebun, berapa produktivitasnya, berapa yang bekerja setahun. Kalau kita buat perumahan dan permukiman berapa yang kerja, berapa efek dominonya pergudangan, ruko, pabrik dan lain sebagainya. Itulah yang harus kami kerjakan setiap tahun. Mohon ini dimengerti dan disampaikan juga, karena bukan apa-apa, bersurat sudah berkali-kali. Saya bukan curhat ini, mumpung ada FGD,” jelasnya.

Jadi harus kita carikan solusinya bersama-sama. Karena yang komplain ini rekan-rekan dunia usaha komplainnya ke pemerintah daerah. Belum lagi sosialisasi persyaratan-persyaratan baru di OSS RBA. Banyak sekali persyaratan yang belum lengkap, mohon maaf ini, emang belum tahu murni atau belaga bego yang penting masuk dahulu, NIB-nya keluar. Kalau NIB sudah keluar seolah-olah izinnya sudah dapat. Kalau izin sudah dapat, seolah-olah sudah bisa menuntut segala macam ke pemerintah daerah. Nah ini juga mohon maaf ini,” imbuhnya.

Zaki menegaskan, pemerintah daerah tetap mendukung semua kebijakan dan program pemerintah pusat. Namun, ia meminta kebijakan antar kementerian harus sinkron sehingga tidak membuat tumpang tindih di lapangan saat implementasi.

“Tetapi kami mohon dari kementerian bapak belum juga sepakat, tidak usah jauh-jauh lahan sawah dilindungi belum sepakat dengan Kementerian Pertanian, tiba-tiba kita harus menanggungnya. Padahal asistensi dari Perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) dari kementerian langsung, semuanya yang terkait, bukan satu dua kementerian. Begitu juga dengan Kementerian Kelautan Maritim dan sebagainya, tidak ada masalah, mau minjem air laut batasnya negara, silakan, tidak ada masalah buat kita. Tapi tolong juga diperhatikan kebutuhan-kebutuhan daerah,” ucapnya.

Lanjut Zaki, permohonan perizinan meski sudah berbasis online atau tanpa tatap muka masih ada masalah yang mendera. Sebab, satu jam pemerintah daerah harus mampu melayani perizinan sebanyak 20 pemohon. Hal tersebut akan sulit bila sistem yang dibuat satu pintu se-Indonesia mengalami crash down atau eror.

“Mungkin kalau Tangerang ini di luar Pulau Jawa, di mana pembuatan izin IMB atau lainnya sebulan cuman 20 orang tidak ada masalah. Kita satu jam saja 20 orang ini yang mengajukan. Mending kalau yang ngajuin satu rumah, kalau yang perumahan permukiman. Satu jam kita harus melayani berapa izin unit rumah yang harus kita keluarkan,” ungkapnya.

Masalah dari sisi sumber daya manusia yang masih belum memahami persyaratan dasar antara kesesuaian pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangun dan gedung hingga sertifikat layak fungsi yang diselenggarakan harus sesuai dengan aturan namun perangkatnya di bawah belum pada siap.

“Termasuk konsultan bersertifikat sekarang, begitu juga personil kami di pemerintah daerah. Tadinya kita sudah melakukan pelimpahan kewenangan dalam rangka percepatan dan penyederhanaan pelayanan kepada kecamatan-kecamatan, sekarang harus dikumpulkan kembali dalam unit, yang kemudian kita buat unit sendiri. Dan itu ngurusin izinnya bukan satu dua, ribuan. Ketika yang satu terhambat satu, dua hari bahkan satu bulan. Otomatis yang bulan depan mengajukan izin akan terhambat lagi. Belum lagi sistemnya crash down, karena melayani seluruh Indonesia, mau bicara apa kita di daerah,” paparnya.

“Nah inilah masalah yang ada, yang mudah-mudahan menjadi tantangan kita semua. Untuk kemudian kita selesaikan satu persatu persoalan yang terjadi di lapangan. Kalau yang terjadi di Jakarta kita tidak tahu, tapi ini yang terjadi di Kabupaten Tangerang,” pungkasnya. (sep/din)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here