Beranda NASIONAL Pamor Pileg Meredup, Pemilih Suka Bahas Capres

Pamor Pileg Meredup, Pemilih Suka Bahas Capres

0
BERBAGI
CAPRES: Calon Presiden Joko Widodo (dua dari kanan) dan Prabowo Subianto bertegur sapa usai debat disaksikan cawapres KH. Ma'ruf Amin (kiri) dan Sandiaga Uno (kanan).

JAKARTA-Debat calon presiden menjadi topik hangat. Baik di media maupun di masyarakat. Namun, animo yang sama tidak dirasakan pada pemilihan calon anggota legislatif (pileg). Menurut hasil survei lembaga riset dan konsultan politik Charta Politika, sebagian besar pemilih (72,3%) akan terlebih dahulu mencoblos pasangan capres-cawapres. Baru kemudian memilih siapa calon anggota legislatif yang mereka sukai.

Data tersebut dikumpulkan dalam survei preferensi politik masyarakat yang dilakukan sejak 22 Desember 2018 hingga 2 Januari 2019.

“Secara tata negara, memang polanya akan seperti itu. Dalam sistem presidensial, yang dianggap sebagai pemilu mayor itu adalah pemilu presiden,” tutur Yunarto Wijaya, direktur eksekutif Charta Politika, melansir BBC. “Juga secara perilaku, pemilih memang lebih mudah kan menentukan pilihan terhadap presiden, apalagi hanya dua pilihan gitu. Yang saya suka dan yang tidak saya suka, dibandingkan dengan kompleksitas banyaknya caleg dalam pilihan terhadap parpol,” tambahnya.

Semakin berkurangnya gaung Pileg 2019, juga dipengaruhi oleh pelaksanaan pemilu serentak yang pertama kalinya. Hal ini membuat kinerja partai politik tidak maksimal untuk ‘menjual’ kader-kadernya dalam pemilu legislatif, karena disibukkan upaya pemenangan capres-cawapres yang diusung atau didukung. “Sebenarnya sudah bisa diduga sejak awal ketika ini (Undang-undang Pemilu) disahkan. Sangat tidak mungkin partai bisa kerja simultan untuk bekerja memenangkan partai di pileg secara optimal, tapi di sisi lain juga akan bekerja untuk mendukung capresnya juga secara optimal. Pasti ada yang dikorbankan pada akhirnya,” ungkap Wawan Ichwanuddin, pengamat politik LIPI.

Hal ini diprediksi bisa tercapai dengan timbulnya coattail effect (efek ekor jas), bagi partai pengusung yang biasanya muncul dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Hal serupa juga diungkapkan Yunarto. Menurutnya, dengan digelar secara bersamaan, ada kecenderungan alam bawah sadar pemilih, di mana setelah mereka memilih capres, ia juga akan memilih partai yang berasosiasi dengan capres tersebut.

“Efek ekor jas ada kecenderungan orang akan melandaskan pilihannya di pileg karena didasarkan pada pilihannya di pilpres, bukan karena objektivitas melihat partai mana yang lebih bagus,” ujar Yunarto. Namun, sambung Wawan, pada praktiknya, dinamika di akar rumput dianggap sangat cair. Menurutnya, belum tentu pemilih yang mendukung capres A, akan memilih caleg yang berasal dari partai pendukung/pengusung capres A. Dia menilai, tidak semua lapisan masyarakat memahami logika berpikir tersebut.

“Misalnya, peduli amat bahwa saya pilih Prabowo atau pilih Jokowi, tetapi ketika untuk pilih DPR, saya akan cenderung kepada caleg atau partai yang memang saya kenal,” ujar Wawan. “Atau lebih buruk lagi misalnya, di lapangan, saya akan milih untuk DPR atau DPRD itu bukan karena partai itu mendukung Jokowi atau Prabowo, tapi saya pilih partai itu, caleg itu, karena dia yang memberikan uang,” tutupnya. (der/fin)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here